Tahun ini adalah tahun kedua saya mengajar murid saya si A, si B, si C, dan si D. Mereka dulu anak anak saya di kelas 7. Sekarang di kelas 9 kami ketemu lagi meski saya sudah bukan wali kelas mereka lagi.
Entah mengapa dari awal tahun ajaran baru saya merasa sulit sekali menjalin kedekatan dengan mereka. Sifat mereka sangat berbeda dibandingkan saat mereka di kelas 7. Tidak lebih berkembang atau maju selayaknya anak dari kelas 7 ke kelas yang lebih tinggi, tapi seperti ada barier yang menghalangi saya untuk menyentuh dasar hatinya. Apa saya guru lebai....mungkin, tapi saya lebih suka mengajar dengan hati daripada sekedar bagi materi dan selesai.
Saya seperti melihat sosok lain dari cara mereka berbicara, dari cara mereka memandang, dari cara mereka bersikap di dalam kelas, dari semua yang saya ingat di kepala mereka berubah. Sempat berpikir sudahlah toh mereka bukan anak2 wali saya lagi.
Sampai akhirnya muncul masalah 1, muncul masalah 2, muncul masalah 3, dan masalah masalah berikutnya yang selalu melibatkan mereka. Selalu dimaklumi dan dimaafkan. Selalu diberi kesempatan untuk dibina. Sampai akhirnya saya menyerah pada salah satu dari mereka. Orang tuanya pun -maaf- labil sekali sulit sekali diajak kerjasama. Sering marah2 dengan kasar tapi disisi lain sering juga membela anaknya yang salah. Daripada pusing lebih baik saya anggap saja anak ini nggak ada masalah di depan mata saya. Energi ini rasanya habis dan saya merasa dibohongi saat mereka berkonspirasi (hadeuh bahasa apa ini) tidak mau mengakui kenakalan apalagi memperbaikinya. Sudahlah nak....hidupmu adalah tanggung jawabmu.
Lalu tiba2 munculah masalah itu, masalah yang menurut saya muncul karena kebodohan mereka yang cuma mau berusaha jadi jagoan, terlihat keren di ig lewat foto dan video mereka. Seandainya mereka tau apa yang mereka lakukan bisa membahayakan nyawa mereka dan juga keselamatan kami guru dan teman2nya. Oh nak....otak limbicmu masih memiliki porsi terbesar dari setiap tingkah lakumu, seandainya saya dengan mudah bisa memahaminya. Tapi lagi2 saat kami tegur senyum-senyum meremehkan terukir di bibir mereka. Saya seperti melihat setan....
Sampai saya berteriak dalam hati Tuhan tolong saya mengapa tiba-tiba hati saya kehilangan kasih yang seharusnya saya bagikan untuk mereka.
Masalah semakin melebar kesana kemari saat guru mulai mengecek hp dari grup mereka. Saya shock mendengar dari guru2 lain apa yang mereka bicarakan dalam grup, apa yang mereka tonton, dan apa yang mereka perbuat. Ya Tuhan ngeri sekali melihat pengaruh internet dan mudahnya akses informasi sekarang ini.
Semakin sedih saat salah satu murid berkata "Bu saya sudah belain mereka, tapi apa balasan mereka malah saya jadi korban" Miris sekali mendengarnya.
Semoga cerita ini bisa menjadi pelajaran untukmu nak dan untuk ibu, bahwa tidak ada gunanya membela otak si jahat, karena suatu saat dia juga akan memangsamu.
Pertemuan hari ini membuka mata para orangtua murid dengan respon yang beragam tentunya. Saya tidak bisa menuntut orang tua untuk ngamuk2 seperti saya yang rasanya sudah mau pecah.
Satu hal penting yang saya dapatkan dari masalah ini, adalah betapa pentingnya orangtua sesekali untuk mengecek hp putra-putri nya, karena terkadang yang tdk pernah melintas di kepala ternyata bisa terjadi pada anak-anak kita.