Periksa pertama kali ke dokter untuk kehamilan kedua ini boleh di bilang banyak kagetnya. Karena ini pertama kalinya saya tau ada kista di ovarium saya dan ukurannya 12,5 cm. Kabar berikutnya posisi calon dede bayinya yang terlalu ke bawah beresiko mudah keguguran. Kabar gembiranya kok jadi banyak was-wasnya hu...hu...hu...
Setelah 12 minggu kehamilan ternyata betul juga, tiba-tiba di hari Rabu pagi perut bagian bawah terasa sakit nyeri. Lalu perut mulai mengalami kontraksi secara teratur, sebentar sakitnya datang sebentar kemudian hilang. Selanjutnya terjadi flek dan akhirnya disore hari mulai banyak darah yang keluar.
Suami segera membawa saya ke IGD, sambil menunggu kedatangan dokter spesialis kebidanan dan kandungan, saya dicek oleh bidan. Ibu bidan juga mencari detak jantung dede bayi pakai alat yang ribut banget sampai pusing dengernya. Lama alatnya tuh muter-muter tetap saja suara detak jantung dede bayi nggak kedengeran...Perasaan nggak enak sudah mulai menghantui saya.
Menjelang magrib saya di bawa ke poli Kebidanan dan Kandungan, di usg sekaligus diperiksa transvaginal (itu kata dokternya kalau nggak salah denger). Dokternya nggak yakin dengan hasil usgnya, katanya mungkin janinnya tidak berkembang harus dikuret, mungkin ibu hamil anggur. Karena masih banyak mungkinnya akhirnya saya disuruh pulang untuk cek lagi minggu depan. Sebelumnya dokternya sempet tanya sama suster "pasien bpjs ya?"
Setelah pulang sakit perutnya nggak juga berkurang. Ya iyalah...nggak dikasih obat dan anjuran disuruh ngapain (sempet mikir apa gara-gara saya pakai bpjs jadi nggak ada perlakuan yang jelas atau memang harus begitu). Pendarahanpun terus berlanjut...hiks...sakitnya T_T
Mau bangun dari tempat tidur aja susah apalagi mikir mau ke dokter lagi.
Akhirnya setelah pendarahan hampir seminggu, kami putuskan periksa ke dokter lain. Betul seperti dugaan awal vonis kuret dari dokter datang juga. Awalnya bingung, mau pakai jaminan kantor atau bpjs. Kalau pakai bpjs takut dapat perlakuan 'diskriminasi'. Kalau pakai jaminan kantor takut melebihi plafon nanti jadi punya hutang.
Setelah mikir beberapa menit (ha..ha...nggak pake lama lah) akhirnya pilih bpjs saja.
Rencana mau kuret hari itu jadi diundur dulu satu hari, kebetulan pendarahannya sudah tidak banyak. Saya pulang menyiapkan barang yang harus di bawa sedangkan suami pergi ke klinik untuk minta surat rujukan.
Mengingat pengalaman operasi Sc dulu maka saya menyiapkan sarung, kemeja kancing depan, beberapa celana yang sudah dipasangi pembalut, dan pembalut cadangan.
Surat rujukan dokter klinik, 2 lembar fotocopy KTP, 2 lembar fotocopy KK, dan 2 lembar fotocoy kartu bpjas.
Jam 6.30 WIB saya dan suami masuk ke rumah sakit, setelah mengisi data dan tanda tangan ini itu, pasang infus, dimasukin obat sikote apa sitoke ya lupa euuuy...saya dibawa ke ruang rawat inap, menunggu antrian. Kebetulan hari itu ada tiga operasi SC yang harus ditangani dokter. Jam 10.00 WIB saya mulai masuk ruangan, jam 10.30 WIB kuret dilaksanakan. Ternyata saya dibius total. Syukurlah...ini agak menghibur, karena sebenarnya saya takut sekali karena sering mendengar cerita teman tentang betapa sakitnya proses kuret. Jam 11.00 WIB perawatnya membangunkan saya bahwa proses kuret sudah selesai.
Dokternya dengan ramah menjelaskan bahwa kuret sudah berhasil, saya boleh pulang sore ini, tapi sebelum pulang jangan lupa ambil kain kasa yang ada di dalam vagina.
Agak molor sedikit sekitar jam 19.00 WIB perawat mengecek keadaan saya lagi, kemudian 30 menit kemudian baru kain kasa diambil. Menjelang jam 9 malam, suami dipersilakan ke kasir untuk menyelesaikan administrasi.
Ternyata kami hanya membayar 65rb untuk obat sikote yang tidak di cover bpjs, yang lainnya sudah di cover bpjs.
Saya sangat bersyukur sekali ada bpjs, tapi juga berharap semoga dokter2 yang melayani pasien bpjs juga tidak dipersulit untuk mengklaim biaya pasiennya. Semoga ya suatu saat nanti bpjs tidak hanya membuat pasien senang tapi dokter2 juga senang :)